Sekedar catatan untuk Pemilu 2009

(Kamis, 09 April 2009)

By : Asranuddin*)
Pemilu 2009 merupakan pemilu ke tiga pasca keruntuhan Rezim Soeharto pada 21 Mei 1998. Era setelah keruntuhan Soeharto diberi nama era Reformasi, yang merupakan karya spektakuler dari gerakan mahasiswa Indonesia dan kelompok-kelompok pro perubahan pada saat itu. Harapan akan sebuah tatanan Indonesia baru pada saat itu sangatlah besar. Gambaran para pengusung reformasi pada saat itu paling tidak adalah terciptanya tatanan pemerintahan yang bersih dan memihak kepada rakyat.

Pada era reformasi ini, negeri kita berada pada sebuah titik persimpangan yang akan menuju ketiga pilihan jalan demokrasi, Apakah Indonesia menjadi negara demokrasi sejati, demokrasi semu atau kebekuan demokrasi? Untuk menilai apakah demokrasi kita menuju kemana maka para meter yang dipakai adalah salah satunya dengan melihat proses demokrasi yang terjadi di Indonesia, terutama momentum-momentum pemilu. Secara teoritis, demokrasi terkadang dibagi menjadi dua, yakni demokrasi prosedural dan substansi demokrasi. Demokrasi prosedural, menyangkut proses atau tahapan-tahapan dalam demokrasi, misalnya dalam konteks pemilu, maka pemilu mempunyai tahapan atau mekanisme yang telah dirancang yang tentunya tidak bersifat diskriminatif terhadap peserta pemilu, sedangkan demokrasi substantif merupakan jiwa demokrasi itu sendiri yang mempunyai nilai-nilai seperti nilai keadilan, kemanusiaan, penghormatan terhadap HAM. Dikatakan negara itu telah menjadi negera demokratis sejati ketika antara substansi demokrasi dan prosedur demokrasi sejalan. Demokrasi semu terjadi ketika demokrasi hanya sebatas prosedur saja yang dijalankan, tanpa menghampiri substansi demokrasi, ini terjadi ketika hasil pemilu itu sebagian besar menghasilkan elite-elite (eksekutif, legislatif, maupun yudikatif) yang tidak memihak kepada kepentingan rakyat, misalnya mereka menghasilkan regulasi atau kebijakan yang tidak pro dengan rakyat kecil. Sedangkan kebekuan demokrasi terjadi ketika pemerintahan yang terbentuk tidak ada bedanya dengan era Soeharto, dimana hak-hak sipil politik masyarakat dibungkam.

Pemilu merupakan sarana demokratis untuk melahirkan elite yang bersih dan masyarakat terlibat secara sadar dan cerdas dalam proses pemilu. Dalam pengamatan penulis, maka yang timbul adalah “kejijikan demokrasi”. Anda boleh tidak sepakat, tetapi saya akan memberi penilaian demikian dengan alasan dari segi peserta pemilu (partai, maupun para caleg) dan dari sudut masyarakat sebagai pemilih[???]. Jikalau anda perhatikan para caleg yang memasang badan/muka baik melalui media maupun pertemuan langsung, maka yang keluar adalah janji-janji luar biasa membiusnya, belum lagi proses pembelian suara dengan meyogok masyarakat dengan beras, gula, sarung, korek api, caleg-caleg dadakan yang bermodal uang untuk mencetak baligho, caleg yang terlibat kasus korupsi (baca: pencuri), memasang famflet/ baligho tanpa memperhatikan aspek artistik kota, dll, tidak ada kejelasan visi dan misi. Dari sisi masyarakat, ternyata partai/ caleg mengajarkan kepada masyarakat untuk memberi penilaian dengan landasan material, masyarakat tidak diajarkan untuk menjadi voter, tetapi hanya menjadi suporter.

Jika anda memberikan suara anda pada pemilu 2009 ini maka menjadilah voter. Voter berarti kemampuan untuk memilih dari sekian banyak pilihan, bukan menjadi pemilih karena sedaerah, sekeluarga, atau karena hanya mendengar janji, tetapi pelajarilah calon pilihan anda, apakah ia mempunyai track record yang baik/buruk. Atau bisa jadi anda tidak menggunakan hak pilih anda. Tidak menggunakan hak pilih dalan demokrasi sama posisinya dengan memberikan hak pilih, karena memilih adalah HAK, bukan KEWAJIBAN.

Posted in Diposting oleh asra di 11.53  

1 komentar:

  1. Anonim Says:

    haaaaaaaaa