Guru dalam Proses Pendidikan kita

(Senin, 25 Februari 2008)

Asranuddin Patoppoi*)

Kejadian luar biasa di dunia pendidikan kita, mulai dari gedung sekolah yang ambruk, siswa bunuh diri karena ketidakmampuan membayar biaya sekolah, guru yang mencabuli siswanya, protes guru menuntut haknya, guru yang diperkarakan oleh orang tua siswa, keengganan pemerintah merealisasikan amanah UUD, uang kuliah yang mahal, merupakan sederetan mata rantai permasalahan pendidikan di negeri kita.

Pada hal kita ketahui bersama bahwa untuk memajukan martabat atau peradaban suatu bangsa, maka kunci utama adalah masyarakat yang mempunyai tingkatan kesadaran, kecerdasan yang tinggi. Kalau kita perhatikan rumusan founding father bangsa kita, mereka telah menyadari akan pentingnya hal tersebut. Dalam Konstitusi Negara kita di preambule UUD 1945 alinea keempat dengan sengat jelas dinyatakan bahwa Negara mempunyai kewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan demikian, maka perhatian terhadap dunia pendidikan oleh Negara merupakan sebuah tugas yang harus diemban. Hal ini mengisyaratkan bahwa Negara mempunyai kewajiban dalam proses kemajuan bangsa dan secara khusus negera bertanggungjawab atas pendidikan di Indonesia.
Penulis menyadari bahwa dalam ranah pendidikan mempunyai saling keterkaitan antara aspek ekonomi, social, dan politik, namun pada kesempatan ini penulis akan memfokuskan pada aspek guru dalam dunia pendidikan kita.



Guru sebagai salah satu kunci keberhasilan pendidikan

Menurut kamus wikipedia.com, bahwa kata guru berasal dari bahasa Sangsekerta yakni guru yang juga berarti guru, tetapi artinya harfiahnya adalah "berat" adalah seorang pengajar suatu ilmu. Dalam Bahasa Indonesia, guru umumnya merujuk pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Dalam definisi yang lebih luas, setiap orang yang mengajarkan suatu hal yang baru dapat juga dianggap seorang guru.

Dalam pembahasan ini guru merujuk pada defenisi yang kedua, karena saya akan mencoba menyorot guru kita yang berada pada institusi formal pendidikan kita, yakni mereka yang mengajar dalam lingkup sekolah atau madrasah maupun pendidikan tinggi. Guru adalah pendidik dan pengajar pada pendidikan anak usia dini jalur sekolah atau pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru-guru (termasuk dosen) seperti ini harus mempunyai semacam kualifikasi formal.
Semua orang meyakini bahwa guru memiliki andil yang sangat besar terhadap keberhasilan pembelajaran. Guru dapat berperan mengembangkan kecerdasan intelektual, emosional, dan kecerdasan lainnya bahkan kecerdasan spritual siswanya. Guru pula yang mengembangkan minat, bakat, kemampuan dan potensi-potensi yang dimiliki oleh siswanya. Keyakinan ini muncul dikarenakan bahwa manusia senantiasa membutuhkan orang lain untuk maju atau berkembang, demikian halnya dengan peserta didik yang membutuhkan jasa seorang guru.

Guru merupakan elemen penting dalam pendidikan. Kita dapat membaca, menulis berpikir secara jernih dan sistematis berkat jasa dari seorang guru yang telah mengajarkan kita tentang banyak hal. Dalam skala yang lebih besar, guru meyiapkan dan mengembangkan sumber daya manusia (SDM), serta mensejahterakan masyarakat, kemajuan bangsa dan negara. Di era sekarang, yang menuntut kita untuk mempunyai pengatahuan yang lebih, maka peran guru juga demikian beratnya karena guru harus mempersipkan manusia-manusia yang mampu untuk berkompetisi secara sehat dan mempunyai moralitas, integritas yang baik dan serta menjaga dimensi spritualitasnya.

Dalam melaksanakan tugas sebagai guru, hal penting yang harus diperhatikan bagi seorang guru adalah persoalan kewibawaan. Pendidik harus meliliki kewibawaan (keluasan batin dalam mendidik) dan menghindari penggunaan kekuasaan lahir, yaitu kekuasaan semata-mata pada unsure kewenangan jabatan. Kewibawan justru menjadikan suatu pancaran batin yang dapat memimbulkan pada pihak lain untuk mengakui, menerima dan “menuruti” dengan penuh pengertian atas keluasaan tersebut, tetapi tidak sampai guru dijadikan sebagai sesuatu yang sangat agung yang terlepas dari kritik. Kewibawaan guru akan lebih berarti jika membuat siswanya dapat melakukan koreksi atau kritik terhadap dirinya.
Kewibawaan pendidik hanya dimiliki oleh mereka yang dewasa. Yang dimaksud dengan kedewasaan disini adalah kedewasaan pikiran. Kedewasaan pikiran hanya akan tercapai oleh individu yang telah melakukan proses atau dialektika dengan realitas social yang pernah dilaluinya. Misalnya ketika masih mahasiswa aktif melakukan diskusi-diskusi dengan berbagai kelompok dalam kampus atau terlibat dalam kegiatan-kegiatan kemahasiswaan yang sifatnya memacu perkembangan kognitif, afektif dan psikomotorik atau terlibat dalam advokasi-advokasi kemahasiswaan.

Menurut penulis, ada tiga sendi kewibawaan, yaitu kepercayaan, kasih sayang dan kemampuan. Pertama, kepercayaan, pendidik harus percaya bahwa dirinya bisa mendidik dan juga harus percaya bahwa peserta didik dapat mengembangkan dirinya sehingga dalam proses pembelajaran guru berfungsi sebagai pembangkit potensi peserta dididik. Kedua, Kasih sayang mengandung makna, yaitu penyerahan diri kepada yang disayangi/peserta didik dan melakukan proses pembebasan terhadap yang disayangi dalam batasan-batasan yang tidak merugikan peserta didik dan kesediaan untuk berkorban dalam bentuk konkretnya berupa pengabdian dalam kerja. Ketiga, kemampuan mendidik dapat dikembangkan melalui beberapa cara, antara lain pengkajian terhadap ilmu pengetahuan kependidikan, mengambil manfaat dari pengalaman kerja, senantisa megikuti alur perkembangan ilmu pengetahuan, agar guru mengajar sambil belajar hal-hal yang baru, sehingga guru tidak hanya seperti burung beo yang pengetahuannya tidak pernah bertambah.

Posted in Diposting oleh asra di 21.07  

1 komentar:

  1. Muh. Yusri Says:

    Suatu profesi yang berat memang sebagai seorang guru. Tetapi merupakan profesi yang sangat mulia; melahirkan nama2 besar dalam sejarah hasil didikan seorang guru.